Krisis Militer Muncul di Tengah Kekacauan Politik Yoon
Kepresidenan Yoon Suk Yeol di Korea Selatan mendapat sorotan tajam setelah ia mengumumkan situasi darurat militer, atau hukum militer, untuk pertama kalinya dalam hampir lima dekade. Dalam siaran televisi mendadak pada malam Selasa, Yoon menyebut adanya “kekuatan anti-negara” dan ancaman dari Korea Utara sebagai alasannya. Meskipun begitu, tampaknya keputusan tersebut lebih didorong oleh krisis politik yang melilitnya, bukan oleh ancaman eksternal. Tindakan ini memicu ribuan orang berunjuk rasa di depan parlemen, sementara legislator oposisi bergegas ke lokasi dengan harapan bisa menghalangi hukum darurat ini lewat pemungutan suara.
Protes dan Penolakan Terhadap Tindakan Yoon
Menanggapi situasi tersebut, Yoon digambarkan sebagai pemimpin yang kelimpungan, menceritakan bahwa oposisi berupaya meruntuhkan pemerintahannya. Dalam langkah drastis ini, ia melibatkan militer dengan menempatkan pasukan bersenjata di gedung parlemen dan mengumumkan larangan aktivitas politik serta pengendalian media. Namun, tindakan tersebut dikecam sebagai ilegal dan tidak konstitusional oleh para legislator, termasuk dari partainya sendiri. Yoon pun harus merelakan rencananya hanya beberapa jam setelah pemungutan suara yang menolak pernyataannya mengenai lawan politiknya. Situasi menegangkan di luar parlemen tidak berujung pada kekacauan yang lebih parah, tetapi banyak pihak khawatir tentang implikasi lebih lanjut dari tindakan semacam ini.
Dampak Hukum Militer Terhadap Demokrasi dan Reputasi Yoon
Martial law sendiri adalah aturan sementara yang ditempatkan oleh pihak militer dalam keadaan darurat, dan kali terakhir diterapkan di Korea Selatan pada 1979. Saat itu, negara sedang bergulat dalam kekacauan setelah pembunuhan diktator Park Chung-hee. Dengan Yoon menerapkan hukum militer, banyak yang mempertanyakan legitimasi dan konsistensinya dengan prinsip demokrasi Korea Selatan yang sudah dibangun sejak 1987. Yoon pun menggambarkan oposisi sebagai simpatisan Korea Utara tanpa bukti, meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap langkahnya. Apalagi, ia menghadapi krisis kepercayaan publik dengan peringkat popularitas menukik tajam akibat serangkaian skandal penyalahgunaan kekuasaan.
Langkah Selanjutnya: Pemakzulan di Depan Mata
Saat ini, partai oposisi bergerak untuk melayangkan pemakzulan terhadap Yoon. Proses pemakzulan di parlemen membutuhkan dukungan dua pertiga dari anggota, atau sekitar 200 suara berdasarkan total 300 kursi. Jika ditetapkan, pengadilan konstitusi akan melakukan sidang dan jika enam dari sembilan hakim memutuskan memvalidasi pemakzulan, presiden akan otomatis dicopot dari jabatannya. Sejarah menunjukan penggantian presiden melalui pemakzulan bukan hal baru di Korea Selatan. Terlepas dari tantangan yang dihadapinya sekarang, banyak pihak menilai langkah Yoon adalah risiko besar bagi masa depan demokrasi di negaranya.