- Presiden Yoon Suk Yeol mengejutkan publik dengan pengumuman martial law.
- Martial law di Korea Selatan baru pertama kali diterapkan dalam 50 tahun.
- Protes besar-besaran terjadi setelah Yoon mengumumkan darurat militer.
- Keputusan Yoon diungkap sebagai solusi untuk krisis politiknya sendiri.
- Lawan politik Yoon cepat merespons dengan pemungutan suara untuk mencabut keputusan.
Pemberlakuan Martial Law oleh Yoon Suk Yeol Menjadi Kontroversi
Pemerintah Korea Selatan di bawah kepemimpinan Presiden Yoon Suk Yeol mengejutkan banyak pihak setelah ia secara tiba-tiba mengumumkan pemberlakuan darurat militer pada malam Selasa. Ini adalah kejadian luar biasa yang terjadi untuk pertama kalinya dalam hampir 50 tahun di negara demokrasi tersebut. Dalam sebuah siaran TV larut malam, Yoon menekankan alasan ketidakstabilan dari “kekuatan anti-negara” dan ancaman dari Korea Utara, meskipun belakangan diketahui bahwa langkah tersebut lebih didorong oleh masalah politik internalnya sendiri yang mengkhawatirkan.
Protes Warga dan Penolakan Parlemen Terhadap Keputusan Yoon
Pernyataan keberatan dari banyak anggota parlemen dan protes ribuan masyarakat menciptakan suasana tegang di depan gedung parlemen. Dalam waktu singkat, para politisi oposisi berkumpul untuk mendorong pemungutan suara darurat guna mencabut keputusan tersebut. Yoon mengumumkan pemberlakuan darurat militer yang memberikan kontrol sementara kepada militer, dan menggambarkan tindakan itu sebagai langkah untuk menghadapi kekuatan anti-negara yang berpotensi merusak stabilitas. Namun, setelah beberapa jam, parlemen berhasil melawan keputusan itu dan mencabut status darurat militer tersebut, membuat langkah Yoon dianggap tidak sah.
Pentingnya Implementasi Martial Law di Korea Selatan
Martial law adalah bentuk pemerintahan sementara oleh pihak militer pada saat keadaan darurat ketika otoritas sipil tidak mampu berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam konteks Korea Selatan, terakhir kali martial law diterapkan terjadi pada tahun 1979 ketika diktator militer Park Chung-hee dibunuh dalam sebuah kudeta. Pasca menjadi negara demokrasi parlementer pada tahun 1987, penerapan seperti itu nyaris tidak pernah terjadi – sampai keputusan Yoon yang mendadak ini. Sangat dikhawatirkan bahwa pemutarbalikan kekuasaan semacam ini dapat membawa kerusakan besar pada reputasi Korea Selatan sebagai bangsa yang demokratis.
Tantangan yang Dihadapi Yoon di Kalangan Oposisi
Di sisi lain, situasi yang kini dihadapi Yoon cukup kompleks. Ia terpilih sebagai presiden pada Mei 2022 dan sejak April tahun ini, ia mengalami ketidakpuasan mayoritas dengan oposisi yang mendominasi hasil pemilu. Berbagai skandal, mulai dari kasus korupsi yang melibatkan sang Ibu Negara hingga tuduhan manipulasi saham, semakin memperburuk citranya. Ketidakmampuannya untuk memajukan agenda pemerintahan dan potensi impeachment mengancam posisinya. Oposisi pun sudah mengusulkan proses pemungutan suara untuk mengimpeachnya dalam waktu dekat.
Situasi di Korea Selatan kini menunjukkan tantangan serius bagi demokrasi yang telah terbangun dengan susah payah. Pemberlakuan darurat militer oleh Presiden Yoon Suk Yeol, meskipun dicabut dengan cepat, mengundang kontroversi luas dan reaksi keras dari masyarakat dan politisi. Proses impeachment yang kini sedang diusulkan oleh partai oposisi menjadi sorotan utama, karena hasilnya bisa sangat menentukan bagi masa depan kepemimpinan Yoon dan stabilitas politik negara.